Islamic

Tafsir Mengenai Shalat Berjamaah (Makalah)

BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Mengenai Shalat Berjamaah
 Pengertian Shalat Jamaah
Shalat berjamaah adalah shalat yang dikerjakan oleh dua atau lebih orang secara bersama-sama dengan satu orang di depan sebagai imam dan yang lainnya di belakang sebagai makmum. Shalat berjamaah minimal atau paling sedikit dilakukan oleh dua orang, namun semakin banyak orang yang ikut solat berjama'ah tersebut jadi jauh lebih baik.

 Hukum Salat Berjamaah
Shalat berjama'ah hukumnya adalah sunat muakkad, yakni sunah yang sangat penting untuk dikerjakan karena memiliki nilai yang jauh lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan shalat munfarid/ seorang diri. Sebelum memulai shalat bersama-sama hendaknya/ sebaiknya dilakukan azan/ adzan sebagai pemberitahuan yang mengajak orang-orang di sekitarnya untuk ikut sholat berjamaah bersama. Jika telah berkumpul di dalam masjid, mushalla, langgar, surau, ruangan, kamar, dan lain sebagainya maka salah satu hendaknya melakukan qamat/ qomat sebagai ajakan untuk melakukan / memulai shalat.

 Hikmah Shalat Berjamaah
Hikmah shalat berjamaah antara lain:
 Membangun, memelihara dan memperkuat hubungan ukhuwah islamiyah dengan sesama muslim. Selalu berjamaah dan berbaur dengan sesama muslim dapat saling mengenal satu sama lain sekaligus menumbuhkan keakraban dan keharmonisan antar sesama muslim.
 Dapat menambah keteraturan dan kekhusyukan dalam melaksanakan shalat. Karena dikerjakan secara bersama-sama, orang terdorong untuk melakukan shalat dengan serius dan tidak bermain-main, mengikuti shalat dengan teratur dengan dipimpin oleh seorang imam sehingga orang tidak bisa shalat sesuka hati mau cepat-cepat selesai.
 Mendidik dan melatih disiplin untuk menta’ati pemimpin. Dalam shalat berjamaah makmum diwajibkan agar selalu mengikuti dan mematuhi iman sebagai pemimpin shalat berjamaah. Dalam hal ini terkandung nilai pendidikan dan latihan hidup bermasyarakat.

B. Ayat Mengenai Shalat Berjamaah
Di dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang berhubungan dengan shalat berjamaah, yakni sebagai berikut:
 Surat Al-Baqarah ayat 43, yang berbunyi:
   •    
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”

 Surat Ali Imran ayat 43, yang berbunyi:
       
Artinya: “Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.”

 Surat An-Nisa` ayat 102, yang berbunyi:
         •                   •          •           •   •        •      
Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat, Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”

Dari beberapa ayat di atas, kami lebih memfokuskan penafsiran ayat dari surat Al-Baqarah, 2: 43.

C. Munasabah Ayat
Surat Al-Baqarah ayat 43 adalah ayat madaniyah. Pada ayat sebelumnya, ayat 42, Allah Swt. mengingatkan Bani Israil agar selalu ingat kepada segala nikmat yang telah diturunkan kepada mereka, beriman kepada Al-Qur’an dan tidak mencampur-adukan barang yang hak dan batil. Kemudian pada ayat ini, Allah memerintahkanagar mendirikan shalat, membayar zakat dan rukuk kepada Allah bersama orang-orang yang ruku’.
Dari sumber yang lain menyebutkan (http://kongaji.tripod.com/myfile/al-baqoroh_ayat_40-46.htm, 28-10-2010/15:42): “Setelah diperingatkan kepada mereka kesalahan-kesalahan dan kecurangan mereka yang telah lalu itu, sekarang mereka diajak membersihkan jiwa dan mengadakan ibadat tertentu kepada Allah, dengan mengerjakan sembahyang, dan mengeluarkan zakat. Dengan sembahyang, hati terhadap Allah menjadi bersih dan khusyu dan dengan mengeluarkan zakat, penyakit bakhil menjadi hilang dan timbul hubungan batin yang baik dengan masyarakat, terutama orang¬ orang fakir-miskin, yang selama ini hanya mereka peras tenaganya, dan mana yang terdesak mereka pinjami uang dengan memungut riba.”
Maksudnya di sini adalah ayat 43 dari surat Al-Baqarah diperuntukan pada Bani Israil (orang-orang Yahudi), di mana pada saat nabi Muhammad Saw. berhijrah ke Madinah, Beliau diperintahkan oleh Allah Swt. untuk berdakwah kepada keturunan Bani Israil di Madinah, tetapi pelaksanaanya bersifat umum. Selain itu juga, ayat ini merupakan kelanjutan penjelasan dari ayat 40-42 dari surat Al-Baqarah. Untuk lebih jelaskan kita akan bahas pada bagian Asbabul Nuzul dari surat Al-Baqarah ayat 43 ini.
Makna yang bisa kita serap dari ayat ini yakni; Iman dan amal adalah dua hal yang tak terpisahkan, dan shalat adalah hal pertama yang diperintahkan oleh Allah di dalam setiap agama yang Ia turunkan, makanya dalam ayat ini kalimat dirikanlah shalat disebutkan lebih dulu dari pada kalimat tunaikanlah zakat. Kemudian, di dalam Islam juga sangat ditekankan salat berjamaah. Bahkan pahala orang yang shalat berjemaah lebih besar dari pada shalat yang dilakukan secara individu.

D. Asbabul Nuzul Ayat 43 Surat Al-Baqarah
Asbabul Nuzul atau sebab diturunkannya ayat 43 dari surat Al-Baqarah ini, dapat kita ambil ketarangan dari sebuah blog yang menjelaskan sebab turunnya ayat ini secara terperinci (http://kongaji.tripod.com/myfile/al-baqoroh_ayat_40-46.htm, 28-10-2010/15:42): “Bani Israil menerima Taurat dari Musa AS.. Lama-lama timbullah pada mereka kesan bahwasanya agama yang mereka pusakai dari nenek-moyang mereka itu yang dirumuskan dalam Taurat Nabi Musa a.s. dan Nabi-nabi yang lain sesudah Musa a.s., adalah khusus buat mereka belaka. Di antara 12 suku Bani Israil itu, yang terbesar adalah keturunan suku anak yang kedua, yaitu Yahuda. Lama kelamaan menjadi kebiasaanlah mereka menyebut diri Yahudi dan agama mereka agama Yahudi, yang dibangsakan kepada Yahuda itu. Padahal yang lebih tepat, supaya semuanya tercakup ialah kalau disebutkan Bani Israil. Maka selain dari dakwah untuk orang Arab, Qahthan dan Adnan, Nabi Muhammad s.a.w diperintahkan Tuhan menyampaikan dakwah kepada Bani Israil , persukuan mereka yang besar di Madinah ketika itu adalah Bani Nadhir, Bani Qainuqa, Bani Quraizhah dan lain-lain persukuan yang kecil-kecil. Dengan pindahnya Nabi Muhammad s.a.w ke Madinah, rapatlah pergaulan dengan mereka. Apalagi ketika itu kegiatan perdagangan ada di tangan mereka. Maka diperintahkan kepada Rasulullah supaya menyampaikan dakwah pula kepada mereka.”
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa ayat 43 dari surat Al-Baqarah ini diturunkan didasarkan pada dakwah nabi kepada Bani Israil di Madinah pada saat hijrah umat Islam pada saat itu, dari Mekah ke Madinah. Hal ini dapat kita lihat dari keterkaitan antara ayat 40, 41, and 42 dari surat Al-Baqarah, yang berbunyi:
                      •          •       •   
Artinya:
[40] Hai Bani Israil (Israil adalah sebutan bagi Nabi Ya'qub. Bani Israil adalah turunan Nabi Ya'qub; sekarang terkenal dengan bangsa Yahudi.), ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku (Janji Bani Israil kepada Tuhan Ialah: bahwa mereka akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, serta beriman kepada rasul-rasul-Nya di antaranya Nabi Muhammad s.a.w. sebagaimana yang tersebut di dalam Taurat.), niscaya aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).[41] Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.[42] Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu (Di antara yang mereka sembunyikan itu Ialah: Tuhan akan mengutus seorang Nabi dari keturunan Ismail yang akan membangun umat yang besar di belakang hari, Yaitu Nabi Muhammad s.a.w.), sedang kamu mengetahui.

Konjungsi “dan” pada ayat-ayat di atas menganalogikan bahwa ayat-ayat tersebut saling berhubungan yang menjelaskan satu sama lain, dan bahkan pada ayat 43 dari surat Al-Baqarah juga menggunakan konjungsi “dan”. Sehingga dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa asbabul nuzul dari ayat 43 surat al-Baqarah merupakan keterkaitan atas dakwa nabi Muhammad Saw. kepada orang-orang Yahudi di Madinah, yang dijelaskan pada ayat 40. Di mana pada saat itu umat Islam bercampur atau berintergrasi dengan kaum Yahudi yang berada di Madinah.
Referensi lain yang menguatkan keterangan di atas menyebutkan; berkatalah Muqatil, firman Allah Swt. ini (Surat Al-Baqarah, 2:43) ditujukan kepada orang-orang ahli kitab supaya menegakkan shalat bersama-sama Nabi Saw., menunaikan zakat dan ruku’ bersama-sama orang-orang ruku’ dari umat nabi Muhammad Saw. Allah Swt. mengkhususkan penyebutan kata ruku’ dalam ayat ini, demikian kata Nawawi al-Bantani, dalam rangka mendorong orang-orang Yahudi supaya menegakkan shalat bersama-sama kaum muslimin. Sebab, dalam sembahyang mereka tidak dikenal gerakan ruku’.

E. Terjemahan Kata-kata
Kata Terjemahan
 Dan dirikanlah
 Shalat
 Bayarkanlah
• Zakat
 Ruku’lah
 Bersama
 Orang-orang yang ruku’

F. Tafsir Mufradat
Kata aqimu berasal dari kata aqama yang berarti mendirikan sesuatu, melakukan sesuatu secara sempurna. Yang dimaksud mendirikan di ayat ini adalah mendirikan shalat, terlihat pada kata kedua yakni as-shalata yang menjelaskan apa yang harus didirikan pada kata pertama. Selain itu shalat pada ayat ini menjelaskan tentang shalat berjemaah, di mana pada kata ma’a yang berarti bersama, menunjukkan bahwa shalat yang disebut pada ayat ini dilakukan bukan seorang diri saja, karena kata bersama mengartikan bahwa melakukan sesuatu secara bersama, dan dipertegas oleh kata arraki’in yang mempunyai arti orang-orang yang ruku’.
Kata ruku’ adalah bentuk mashdar dari kata raka’a yang secara bahasa berarti ‘membungkuk, tunduk, merendahkan diri’. Dalam Al-Qur’an kata ini dan derivasinya terulang sebanyak 13 kali. Enurut konteks pemakaiannya dalam Al-Qur’an, kata ruku’ memiliki beberapa pengertian. Pertama, berarti ‘membungkuk dengan meletakkan kedua tangan di atas lutut’, gerakan yang dikenal sebagai bagian dari shalat. Makna inilah yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah ayat 43 di atas. Ruku’ berarti ‘tunduk kepada perintah Allah Swt.’, pengertian ini sebagaimana terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 55, dan terkadang ia juga berarti ‘sujud’, sebagaimana terdapat dalam surat Shad ayat 24.
Kata sujud adalah bentuk mashdar dari kata sajadah yang secara bahasa berarti ‘meletakkan wajah di atas bumi, merendahkan diri, menghinakan diri’. Menurut definisi istilah, sujud adalah bagian dari gerakan shalat berupa melatakkan tujuh anggota tubuh di atas bumi dengan menghadap ke arah kiblat.

G. Tafsir Ayat
Di dalam buku Tafsir Ayat-ayat Pilihan (Ihsan Nulhakim, 2009), penafsiran ayat Al-Baqarah 2:43, yakni sebagai-berikut:
Secara tersurat, ayat 43 surat Al-Baqarah berisikan tiga macam perintah Allah Swt.; mendirikan shalat, membayar zakat dan ruku’ bersama orang-orang yang ruku’. Dua perintah yang pertama adalah dua kewajiban pokok yang bila diterapkan dapat menciptakan hubungan yang harmonis, shalat pertanda hubungan baik dengan Allah Swt. dan zakat sebagai pertanda hubungan baik dengan sesame manusia.
Ruku’ merupakan salah satu aktifitas atau gerakan dalam shalat, dan bahkan termasuk sebagai salah satu rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam ayat di atas perintah ruku’ disebutkan tidak berbarengan dengan perintah shalat, namun menyebutkan perintah zakat sesudah shalat.
Dikalangan ahli tafsir secara umum terdapat dua perbedaan penafsiran dalam memahami makna perintah ruku’ dalam ayat 43 ini. Ada yang menafsirkan ruku’ sebagai bagian dari ibadah shalat, dan ada pula yang memahaminya sebagai sikap ketundukkan kepada perintah Allah Swt.
M. Quraish Shihab, misalnya, ketika menjelaskan tafsir ayat 43 ini menegaskan bahwa disamping ditekankan kewajiban shalat dan zakat, terdapat kewajiban lain yang dicakup oleh penutup ayat ini, yakni ‘ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’, dalam arti tunduk dan taatlah kepada ketentuan-ketentuan Allah Swt. sebagaimana dan bersama orang-orang yang taat dan tunduk. Jadi, menurut penafsiran Shihab, ruku’ yang diperintahkan di sini bukanlah sebagai bagian atau kelanjutan dari perintah shalat yang tersebut pertama, tetapi mengandung makna baru, yakni ketundukkan kepadaNya, sebagai penegas untuk dua kewajiban yang telah disebutkan sebelumnya.
Adapun menurut Ibnu Katsir, perintah ruku’ dalam penggalan ayat ini berimplikasikan shalat untuk dilakukan secara berjamaah. Banyak ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil yang mewajibkan shalat berjamaah.
Sementara al-Qasimi memahami perintah ruku’ dalam ayat ini sebagai ruku’ yang menjadi bagian dari shalat. Dengan kata lain, perintah ruku’ dalam firmanNya: “Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’”, berkaitan dengan cara melaksanakan shalat. Menurut beliau, ujung ayat 43 ini mengandung pengartian bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mendirikan shalat secara berjamaah.
Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya juga menekankan pendapat yang sama dengan al-Katsir dan Qasimy. Menurut al-Maraghi, maksud fimanNya: “Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku”, adalah perintah agar tetap berada dalam jamaah muslim dan shalat bersama mereka. Allah Swt. mendorong umat Islam untuk shalat berjamaah agar tercipta kesatuan hati di kalangan orang beriman.
Menurut Rasyid Ridha, susunan redaksi yang demikian mengandung hikmah yang besar. Tiga macam perintah ini disebutkan secara tertib dan berurutan. Shalat menempati urutan pertama karena shalat merupakan ruhnya ibadah kemudian zakat menempati urutan kedua karena zakat adalah salah satu amal shaleh yang besar pengaruhnya terhadap kesucian ruh ibadah dan kekuatan iman. Adapun ruku’ diletakkan pada tempat yang ketiga adalah bagian yang sangat erat kaitannya dengan shalat: ruku’ diperintahkan karena merupakan perbuatan yang mengandung arti ketundukan seorang hamba kepada perintah Allah Swt. dan sikap merendahkan diri kepada keagungan Allah Swt. Karena itu, shalat jangan sampai hanya sekedar adat kebiasaan sehari-hari saja yang kosong dari makna ketundukkan diri dan sikap merendahkan diri kepada Allah Swt., sehingga shalat tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap jiwa.
Ketika menjelaskan maksud firmanNya “Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku”, Hamka mengemukakan penafsiran sebagai berikut: maksud yang pertama, perintah untuk berjamaah. Sembahyang yang dilakukan sendirian belum sempurna tetapi sembahyanglah bersama orang-orang yang ruku’. Salah jika ada orang yang berpandangan asal saya sudah sembahyang sendiri di rumah, itu sudah cukup dan tidak perlu bercampur dengan orang lain. Maksud yang kedua, arti ruku’ adalah khusyuk. Jangan melakukan sembahyang asal sembahyang. Sembahyang bukan hanya mencukupi kebiasaan sehari-hari saja, tidak dijiwai dengan kekhusukan dan kerendahan hati.
Dari pendapat para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ruku’ pada ayat 43 surat Al-Baqarah dapat diartikan dalam beberapa versi yang berbeda. Ada sebagian ulama yang menghubungkan kata ruku’ pada ayat tersebut dengan kata shalat yang disebutkan pada awal ayat, dan ada juga sebagian ulama yang tidak menghubungkan makna kata ruku’ dengan kata shalat, dengan kata lain ruku’ pada ayat tersebut merupakan ibadah lain yang bukan komponen dari ibadah shalat. Penjelasan lain dari surat Al-Baqarah ayat 43 ini yakni sebagai-berikut:
Perintah shalat dan zakat sebagaimana dalam ayat 43 ini datang dalam bentuk umum. Ayat ini tidak menjelaskan bagaimana cara shalat dan ketentuan membayar zakat. Keterangan dan ketentuan yang lebih rinci tentang kedua hal itu dapat dicari di dalam hadis-hadis Nabi. Begitu pula dengan perintah untuk shalat secara berjamaah. Al-Quran tidak banyak memberikan penjelasan tentang shalat berjamaah dan keterangan tentangnya juga dicari dalam hadis.
Ada ikhtilaf pendapat di kalangan ulama fiqh tentang hokum shalat berjamaah. Secara umum perbedaan itu dapat dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, sebagian mereka berpendapat hukumnya wajib. Mereka beralasan kepada hadis Nabi berikut ini, yang menurut mereka menerangkan bahwa nabi Saw. mengancam akan membakar rumah orang-orang yang tidak ikut shalat berjamaah.
Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: ‘Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang yang munafiq adalah shalat isya dan shalat shubuh, dan seandainya mereka mengetahui hikmah yang terdapat pada kedua shalat tersebut, niscaya mereka mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sesungguhnya aku telah bertekad menyuruh mendirikan shalat kemudian menyuruh seseorang untuk shalat bersama orang-orang sebagai imam, kemudian saya pergi bersama seorang laki-laki yang membawa seikat kayu bakar ke tempat orang-orang yang menghadiri shalat jamaah, kemudian saya bakar rumah-rumah mereka dengan api.’ (HR. Muslim)
Sealain hadis di atas, mereka juga beralasan kepada hadis lain yang menerangkan bahwa siapa saja yang mendengar azan wajib datang ke masjid untuk mengikuti shalat berjemaah:
Dari Abu Hurairah ia berkata, seorang laki-laki buta datang kepada Nabi kemudian berkata: “Hai Rasulullah sesungguhnya tidak ada orang yang menuntun aku ke masjid.” Lalu ia meminta kepada Rasulullah agar diberi keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Nabi pun memberikan keringanan untuknya. Setelah ia berpaling, Rasul pun memanggilnya dan berkata: “Apakah kamu mendengar suara azan?” Dia menjawab: “Ya.” Kemudian beliau bersabda: “Penuhilah panggilan itu!” (HR. Muslim)
Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa shalat berjamaah fardhu kifayah. Bila sudah ada yang mengrjakan shalat berjamaah, maka gugur kewajiban yang semua orang muslim. Ketiga, sebagian besar/jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah mu’akkadah (ajuran yang ditegaskan).
Di samping itu, cukup banyak hadis yang menerangkan tentang keutamaan shalat berjamaah dari pada shalat sendirian. Di antara hadis-hadis tersebut terdapat variasi dalam menerangkan derajat shalat berjamaah atas shalat sendirian. Ada hadis yang menyebutkan angka 25, seperti hadis berikut: “Kelebihan shalat berjamaah atas shalat sendirian sebanyak 25 derajat. Malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada waktu fajar.” (HR. Bukhari). Ada yang menyebutkan 27, seperti hadis berikut: “Pahala shalat berjamaah melebihi shalat sendirian dengan kelebihan dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari). Variasi angka-angka sebenarnya ini tidak perlu diperdebatkan, tidak penting, sebagaimana yang terjadi di kalangan ulama, sebab angka-angka itu bukanlah tujuan yang dimaksud tetapi untuk memberikan motivasi orang agar tidak meninggalkan shalat berjamaah.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa perintah shalat yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat 43 merupakan shalat berjamaah. Sedangkan kata ruku’ yang terdapat dalam ayat tersebut, ada sebagian ulama memaknainya sebagai rukun atau elemen dari shalat yang dijelaskan pada awal ayat dan ada juga ulama yang memaknainya sebagai perintah lain/ ibadah lain yang tidak mencakup kata shalat yang dijelaskan pada awal ayat. Selain itu mengenai hukum dari shalat berjamaah, para ulama juga memiliki perbedaan pendapat. Ada yang mewajibkannya, memeberikan hukum fardu kifayah, dan ada yang ulama yang mengatakan sunnah mu’akad.

B. Saran
Makalah mengenai tafsir ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah, 2:43 tentang shalat berjamaah ini, menjelaskan konsep dan materi tentang shalat berjamaah dan ayat yang terkait. Di sini kami mengkhususkan penafsiran terhadap ayat 43 dari surat Al-Baqarah. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kesalahan, baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca khususnya mahasiswa STAIN Curup Prodi Bahasa Inggris semester 5. Sehingga akan menjadi guieder terbaik kami dalam penyusunan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Abdullah Yusuf. 1993. Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. 2007. Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Mekar Surabaya.
Nulhakim, Ihsan. 2009. Tafsir Ayat-ayat Pilihan. Curup: Lembaga Penerbitan dan Percetakan (LP2) STAIN Curup.
Suma, Muhammad Amin. 1997. Tafsir Ahkam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
http://crysrepair.blogspot.com/2009/11/definisipengertian-shalat-berjamaah-dan.html.
http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/38.htm
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2052056-makna-shalat-berjamaah-dan-hukum/
http://kongaji.tripod.com/myfile/al-baqoroh_ayat_40-46.htm
http://organisasi.org/definisi-pengertian-shalat-berjamaah-dan-hukum-sholat-berjamaah-ilmu-agama-islam
http://paismpn4skh.wordpress.com/2009/08/30/shalat-berjamaah/
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatquran&id=22



Aliran Maturidiyah

BAB I
PENDAHULAN
1. Latar Belakang
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar argumen-argumen. Baik secara rasional (aqliyah) maupun naqliyah argumentasi rasional yang dimaksud adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis. Sedangkan argumentasi naqliyah biasanya berfendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Quran dan Hadits.
Sehingga dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, muncullah aliran-aliran teologi dalam Islam. Salah satunya yakni aliran Maturidiyah yang lebih menggunakan analogi berpikir dalam memberikan pemikiran-pemikirannya, namun harus juga sesuai dengan nash.
Di sini aliran Maturidiyah juga terbagi menjadi dua golongan besar, yang passtinya terdapat perbedaan-perbedaan walaupun tidak mencolok. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengangkat masalah konsep mengenai Aliran Maturidiyah sebagai objek kajian para penulis.

2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan aliran Maturidiyah?
2. Mengapa terbentuknya aliran maturidiyah?
3. Apa saja ajaran-ajaran dari aliran Maturidiyah?
4. Ada berapa sekte-sekte dalam aliran Maturidiyah?

5. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yakni sebagai-berikut:
1. Untuk memahami konsep mengenai aliran Maturidiyah.
2. Untuk mempelajari latar belakang terbentuknya aliran maturidiyah.
3. Untuk mengetahui ajaran-ajaran dari aliran Maturidiyah.
4. Untuk mengetahui sekte-sekte atau aliran-aliran dalam aliran Maturidiyah.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Aliran Maturidiyah
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.
Selain itu, definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas , maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.
Jadi dalam pena’wilan Al-Qur’an, al-Maturudi sangat berhati-hati walaupun beliau menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Penulis setuju dengan sikap al-Maturudi dalam menafsirkan ayat yang mutasyabih, yakni dengan mencari pentunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasikan dengan penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan ayat tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.
Maka dari bererapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.
2. Sejarah Aliran Maturidiyah
Dalam buku Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Harun Nasution, 76) menyebutkan bahwa Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiah.
Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ke tiga Hijrah, di mana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Negeri Samarkand pada saat itu merupakan tempat diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Diskusi di bidang Fiqh berlangsung antara pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i.
Selain itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal). Pada awalnya antara kedua aliran ini (Maturidiyah dan Asy’ariyah) dipisahkan oleh jarak: aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah di seberang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’I dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.
Memang aliran Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran Mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H).
Walaupun konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-Maturudi, tapi terdapat pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sefaham dengan al-Maturudi. Antara ke dua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
Dari paparan mengenai sejarah di atas, di sini para penulis beropini bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang pada mulanya aliran ini berakar dari pemikiran Abu Mansur al-Maturidi. Beranjak dari pemikiran-pemikiran al-Maturidi ini lah aliran ini berkembang. Sehingga pengikut aliran ini disebut aliran Maturudiyah yang diambil dari nama pendirinya sendiri.
Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni pemikiran-pemikiran dari pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid al-Maturidi, al-Bazdawi memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal-hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand dan pengikut al-Bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara.

3. Ajaran Aliran Maturidiyah
Sebelum kita memahami konsep ajaran dari aliran Maturidiyah sebelum terpecah menjadi dua golongan, kita harus tahu konsep pemikiran al-Maturudi terlebih dahulu yakni kewajiban ma’rifah terhadap Allah Swt. mungkin di temukan berdasarkan penalaran akal, sebagaimana Allah Swt. telah memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Allah Swt. memerintahkan kepada manusia untuk berpikir mengenai kerajaan langit dan bumi dan memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekira akal pikiran diarahkan secara konsisten, terlepas dari hawa nafsu dan taklid. Sesuai dengan firman Allah Swt. berikut:
  •         •      
Artinya:
”Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jaatsiyah, 45: 13)
Maka dari itu, al-Maturudi memberikan kontribusi pemikirannya kurang lebih tiga ajaran yakni:
1. Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah Swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’, basher dan kalam pada Dzat Allah Swt. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti:’Alim(Maha mengetahui), Khabir(Maha mengenal), Hakim(Maha bijaksana), Bashir(Maha melihat), merupakan nama-nama bagi Dzat Allah Swt. Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah Swt., tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya.
Al-Maturidi juga menerima segala sesuatu yang disifatkan Allah Swt. kepada diri-Nya sendiri, baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun demikian, ia menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai bentuk manusia) dan dari mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang mengandung makna sifat-sifat, seperti pernyataan bahwa Allah Swt. mempunyai wajah, tangan, mata dan lainnya, maka al-Maturidi berdiri pada posisi penta’wil dan berjalan di atas prinsipnya, yaitu membawa ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. Misalnya, ia menginterpretasikan firman Allah Swt.:

    . . . .
Artinya: “Lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy….”(QS. Al-A’raf, 7:54)
Ia menafsirkan dengan makna alternatif, yaitu bahwa Allah Swt. menuju ‘Arsy dan menciptakannya dalam keadaan rata, lurus dan teratur.
Menurut pendapat kami al-Maturidi dalam memahami sifat-siafat Allah Swt. hampir sependapat dengan aliran Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa antara Dzat dan sifat-sifat Allah itu tidak terpisah. Sehingga dalam hal ini, jelas al-Maturidi lebih dekat dengan aliran Mu’tazilah.
2. Melihat Allah Swt.
Ada beberapa nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt. dapat dilihat, seperti firtman Allah:
       
Artinya: “ Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)
Berdasarkan firman tersebut, al-Maturidi menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat itu merupakan salah satu keadaan khusus.
Maka dari itu para penulis juga setuju dengan pendapat al-Maturidi di atas, apalagi diperkuat dengan firman Allah Swt. Surah Al-Qiyamah: 22-23, karena menurut pendapat kami pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah Swt. (bagi orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk Allah Swt., hanya Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat.
3. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt. menghendaki maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah Swt. menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Dengan demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar, sebagaimana Dia telah berfirman:
•                     
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’, 4: 48)
Setelah Maturidiyah terpecah menjadi dua bagian, yakni aliran Samarkand dan Bukhara, ajaran aliran maturidiyah mengalami perbedaan dan ada juga yang sama di antara ke dua aliran ini, yakni sebagai-berikut:
1. Mengenai pelaku dosa besar
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimana dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya keneraka, tetapi tidak kekal didalamnya.
Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surrah An-Nissa’:48.
2. Mengenai iman dan kufur
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Ia berargumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-hujurat 14:
   •                        •    
Artinya: “orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat, 49: 14)
Ayat tersebut di pahami Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esnsi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran baying-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.

3. Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
1. Mengenai perbuatan Tuhan
Mengenai perbuatan Allah SWT. ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkad dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkad, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menempati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
2. Mengenai perbuatan Manusia
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukharah mengenai perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangkan Maturidiyah Bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya.

4. Mengenai sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi ta’wil.
Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
5. Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
4. Sekte-sekte atau Aliran-Aliran Maturidiyah
Berdasarkan beberapa referensi yang kami peroleh, aliran Maturidiyah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu:
1. Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.

2. Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran ¬Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.

BAB III
ANALISIS
Aliran Maturidiyah merupakan salah satu aliran dalam Teologi Islam. Maturidiyah diambil dari nama pendirinya yakni al-Maturidi. Konsep ajaran Maturidiyah itu sebenarnya berakar dari pemikiran-pemikiran pendirinya itu sendiri, namun setelah aliran ini mengalami perpecahan maka ada sedikit pebedaan mengenai ajarannya. Dari beberapa referensi yang kami baca, konsep ajaran aliran Maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara, terdiri dari lima ajaran:
1. Mengenai pelaku dosa besar
Mengenai pelaku dosa besar, baik Samarkand ataupun Bukhara mempunyai konsep yang sama yakni pelaku dosa besar masih tetap dalam keadaan mu’min, asalkan pelaku dosa besar tersebut tidak melakukan dosa syirik. Maka dari itu, para penulis bisa memberikan dampak positif dan negatif dari kosep ajaran ini.
Dampak positifnya, konsep ajaran ini bisa memberikan motivasi kepada pelaku dosa besar untuk bisa bertobat. Karena dengan adanya konsep ini pelaku dosa besar merasa mempunyai harapan untuk diberi maaf oleh Allah Swt., karena hanya Dialah yang membalas segala apa yang dilakukan oleh manusia. Sehingga pelaku dosa besar tidak pasrah begitu saja dengan dosa yang mereka perbuat, melainkan berusaha untuk bertobat.
Namun, dampak nagatif dari konsep ini menurut pandapat para penulis bahwa konsep ini bisa saja dijadikan dalil untuk melakukan dosa besar itu sendiri. Karena dari konsep ajaran ini mengatakan pelaku dosa besar setelah wafatnya, walaupun mereka masuk neraka mereka tidak akan kekal selamanya. Sehingga pelaku dosa besar merasa tidak terbebani dengan dosa yang mereka lakukan.

2. Menenai iman dan kufur
Maturidiyah samarkand berpendapat bahwa iman itu tidak hanya diucapkan dengan lidah saja, melainkan hati juga harus mengakui apa yang diucapkan oleh lidah. Kami setuju dengan pendapat ini, karena apabila hati tidak mengakui ucapan iman yang dituturkan oleh lidah, maka iman tidak mempunyai nilai apa-apa.
3. Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
Mengenai perbuatan Tuhan, Maturidiyah Samarkand berpendapat Tuhan mempunyai kewajiban misalnya mengirim rasul. Namun Maturidiyah Bukhara berbeda pendapat, Tuhan tidak mempunyai kewajiban sedangkan mengirim rasul itu merupakan hanya bersifat mungkin saja. Kami setuju dengan pendapat dari aliran Maturidiyah Bukhara, karena menurut kami apabila Tuhan mempunyai kewajiban maka pasti ada yang mewajibkan Tuhan. Sedangkan Tuhan sifatnya maha Agung dan tidak ada satupun yang memberikan beban kepada Tuhan.
4. Mengenai sifat-sifat Tuhan
Dalam hal sifat-sifat Tuhan, baik Samarkand maupun Bukhara sependapat bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Misalnya sifat Allah yang Maha Melihat, ini bukan berarti Tuhan mempunyai mata dan bukan juga Maha Melihatnya adalah Tuhan melainkan itu hanya sifat-Nya. Sedangkan Tuhan adalah hanyalah Allah Swt.(Esa).
5. Mengenai kehendak mutlak Tuhan
Mengenai kehendak mutlak Tuhan, Maturidiyah Samarkand masih berkukuh pada pendapatnya bahwa Tuhan mempunyai kewajiban. Aliran ini berpendapat bahwa Tuhan tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Sehingga apabila dicerna secara mendalam, bisa penulis simpulkan bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban kepada manusia menurut aliran Maturidiyah Samarkand. Namun hal itu ditentang keras oleh aliran Maturidiyah Bukhara, bahwa tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada kewajiban bagi Tuhan. Hal ini sejalan dengan penalaran penulis bahwa tidaklah layak Tuhan Yang Maha Agung mempunyai kewajiban yang harus dilakukan terhadap ciptaan-Nya sendiri. Sehingga para penulis lebih condong ke arah pemikiran al-Bazdawi dalam hal konsep mengenai kehendak mutlak Tuhan.

BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembuatan makalah ini kami dapat menyimpulkan bahwa:
1. Aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.
2. Konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-Maturudi, tapi terdapat pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sefaham dengan al-Maturudi. Antara ke dua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
3. Pemikiran aliran Maturidiyah bersumber dari pendiri aliran itu sendiri, yakni berakar dari pemikiran-pemikiran al-Maturidi, yang lebih menggunakan analogi berpikir dalam memberikan pena’wilan suatu ayat. Namun, hal tersebut harus sesuai dengan dalil-dalil naqli yang ada.
2. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini kami mengharapkan makalah ini dapat membantu para pembaca untuk memahami dan mengetahui konsep mengenai Aliran Maturidiyah. Selain itu, kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan baik dari segi system penulisan maupun isinya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca guna sebagai penerang bagi kami untuk menyusun makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra, Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam., diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qorib. Jakrta: Logos Publishing House
Hanafi, A. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husnah Baru Jakarta
Izutsu, Toshihiko. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya
Madkour, Ibrahim. 2004. Aliran dan Teori Filsafat Islam. , diterjemahkan oleh Yudian Wahyu Asmin. Jakarta: Bumi Aksara
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2000. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
http://fajardawn.blogspot.com/2009/05/al-maturidiyah.html
http://fajardawn.blogspot.com/2009/05/sekte-sekte-islam.html
http://kiflipaputungan.wordpress.com/2010/04/16/aliran-maturidiyah/
http://ummatanwasatan.net/?p=5362
http://www.indiaonech.co.cc/1_43_Asy-ariyah-dan-Maturidiyah.html
http://www.blogger.com/profile/15927861542647201968
http://www.alsofwah.or.id/cetakfirqah.php?id=41&idjudul=39
http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/maturidiyah/
http://andaleh.blogsome.com/2006/03/17/p4/
http://dinulislami.blogspot.com/2009/08/perbandingan-antar-aliran.html